Sejak TK, aku selalu berjalan kaki menuju ke sekolahku. Setiap
hari, melewati rute yang sama. Melihat lingkungan di sekitarku berubah
perlahan. Rumah rumah mulai banyak dibangun. Pohon pohon di pinggir jalan juga
bertambah besar seiring waktu berjalan. Saat musim kemarau, pohon pohon itu
seperti pohon di musim gugur. Daunnya berjatuhan karena kering. Saat musim
hujan, pohon pohon itu menumbuhkan daun serta buahnya. Sama seperti pohon,
akupun tumbuh semakin besar. Aku semakin tinggi dan langkahku semakin besar,
sehingga perjalanan ke sekolahku terasa jauh lebih cepat.
Namun, dibalik itu semua. Bukan hanya lingkunganku yang
berubah. Kepribadianku juga berubah menjadi lebih baik seiring waktu. Karena,
aku belajar dari arti sebuah senyuman.
Saat tk sampai SD kelas 3, aku berangkat ke sekolah ditemani
pembantuku. Pembantuku selalu menyapa dan memberikan senyuman kepada ibu ibu
penyapu jalanan, tukang sapu, satpam, dan berbagai orang yang kulalui di jalan.
Saat itu, aku adalah anak yang pemalu dan tidak suka interaksi sosial, Jadi aku
cenderung introvert. aku tidak begitu dekat dengan orangtuaku karena ibuku
sibuk mengurus adikku sedangkan ayahku sibuk bekerja dan pulang malam. Sedangkan
di sekolah, aku hanya dekat dengan beberapa orang. Tapi aku selalu percaya
bahwa aku bisa melakukan segala hal dengan baik dan aku ini adalah anak baik.
Di kelas 3 SD itu, aku mulai ke sekolah dengan jalan kaki
sendiri karena pembantuku berhenti bekerja. Sejak saat itu, tiap kali aku
bertemu dengan ibu sapu jalanan dan tukang jamu, mereka selalu menyapaku dengan
sebuah senyuman. Jadi selalu kubalas dengan senyuman juga. Seperti itulah
setiap pagi, tidak ada kata kata diantara kami. Walaupun aku sendiri tidak
kenal dengan mereka dan hanya mengenal senyuman dan sapaan mereka.
Kelas 4 SD, aku tidak satu kelas bersama teman baikku. Kami semua
berbeda kelas. Dan aku hanya punya satu orang teman di kelas itu. Teman teman
lamaku memang cepat bersosialisasi, jadi mereka dengan cepat mendapatkan teman
baru. Karena mereka selalu bermain dengan teman barunya, aku lebih banyak
menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Kalaupun aku makan, aku lebih
suka makan di kelas atau di ujung tangga. Tapi biarpun begitu, jika teman
lamaku mendapat masalah, mereka suka mengatakannya padaku. ‘setidaknya aku
tidak dilupakan’ pikirku.
Suatu hari seorang tukang jamu gendong menyapaku “berangkat
sekolah dik?” sapanya ramah. Karena aku masih bingung menjawab apa dan saat itu
aku tidak pintar berbicara aku hanya mengangguk dan tersenyum. Sejak hari itu,
ia terus menyapaku.
Saat aku kelas 6 sd, aku mulai berani untuk menyapa ibu itu
duluan. “berangkat bu” “oh iya berangkat sekolah ya dik?” “iya bu” hanya
percakapan inilah yang kulakukan setiap berangkat sekolah. Setelah berani berinteraksi
dengan orang, akupun selalu menyapa semua orang dijalan, seperti : tukang sapu
jalanan, tukang jamu gendong, ibu ibu tetangga, kakek dan nenek yang sedang
lari pagi dll. Aku menyapa mereka walaupun tak kenal nama.
Saat itu, pikiranku mulai terbuka. Setiap aku hampir mengeluh
karena harus membawa tasku yang berat ke sekolah dengan jalan kaki. Namun,
setiap bertemu dengan tukang jamu itu aku merasa bahwa ‘ibu itu pasti rumahnya
jauh. Untuk menyiapkan jamunya ia pasti harus membuatnya di pagi pagi buta,
setelahnya ia masih harus berdagang jamu dengan digendong, gendongannya hanya
dari keranjang jerami yang dililit kain gendong, tp berat jamu jamu itu tidak
sama dengan tasku. Jamu itu dimasukkan kedalam botol kaca yang besar dengan isi
yang penuh. Sedangkan aku hanya membawa beberapa buku dan alat alat lainnya di
tas yang layak pakai, juga jarak sekolah dan rumah tak terlalu jauh. Umurku
juga masih muda. Tidak seperti ibu itu yang sudah tua tp masih bekerja. Kadang
aku malu pada ibu itu. Aku mengeluh bawaanku berat padahal ia membawa yang
lebih berat. Saat aku merasa lelah aku bisa istirahat dengan tenang disaat ibu
itu pasti juga sangat lelah tapi harus tetap berdagang.’
Akupun mulai dekat dengan orangtuaku. Aku merasa sepertinya
selama ini aku menarik diri dari mereka, bukan mereka yang tidak
memperhatikanku. Aku mulai bisa bercerita banyak pada mereka. Aku suka bermain
dengan saudara saudaraku juga. Saat disekolahpun, aku punya banyak teman. Waktu
istirahat tidak lagi kuhabiskan sendirian di perpustakaan. Aku akan makan dan
bermain dengan sahabat sahabatku di sekolah. Kupikir, hidupku lebih berwarna
sekarang.
Pada hari yang lain pun pernah aku tidak masuk sekolah selama 3
hari karena sakit. Saat aku sudah sembuh, aku bertemu dengan ibu tukang jamu
gendong itu, dan yang membuatku terharu adalah, ia menyadari bahwa aku tidak
masuk sekolah, ia menanyakan kabarku padahal aku hanya menyapanya dan
memberikan sebuah senyuman setiap pagi.
‘ternyata dia peduli’ pikirku dalam hati. Kupikir sebuah
senyuman dan sapaan tidak akan berarti apapun. Kupikir aku melakukannya selama
ini karena untuk menjadi sopan dan ramah saja. Tapi aku salah. Sebuah senyuman
dan sapaan berarti begitu besar. Sebuah senyuman mampu memmbuat suatu tali
persaudaraan yang kuat. Sebuah sapaan dapat membuat orang lebih peduli pada
kita. Sebuah nama tidaklah penting, membuat tali persaudaraanlah yang penting. Tidak
peduli itu orang kaya atau miskin, orang desa atau kota, orang dewasa atau anak
anak, orang kulit hitam atau orang kulit putih, karena pada dasarnya kita
memang terlahir berbeda.
Namun, senyuman yang tulus dapat menghilangkan rasa perbedaan
tersebut. Senyuman yang tulus dapat membuat orang peduli. Senyuman yang tulus
dapat membuat orang disekitarmu nyaman. Dan senyuman yang tulus, dapat mengubah
seseorang^^.
Let’s give the best smile you have to the world!~ :D

